Ketika Maryam masih bayi, saya suka mengajaknya jalan-jalan di sekeliling rumah setelah kakaknya berangkat sekolah.
Suatu hari, ketika kami sedang duduk-duduk menatap jalan raya, lewatlah seorang bapak yang lagi membonceng anaknya ke sekolah. Ya, kami kenal sama sang bapak ini. Lelaki keturunan Arab yang juga sering pergi salat berjamaah ke masjid.
Apa yang menarik perhatianku saat itu? Sang bapak ternyata mengayuh sepeda sambil melantunkan ayat Alquran, MasyaAllah. Waktu itu aku pun berpikir betapa beruntungnya anaknya bisa mendengar bapaknya mengaji seperti itu.
Lama sudah kejadian tersebut berlalu. Hingga sampailah ketika anakku mulai menghafal juz 30. Aku mulai mencari-cari waktu tambahan untuk membantunya murojaah hafalan. Dan aku pun teringat kembali akan si bapak tadi.
Akhirnya, aku menawarkan kepada si kakak untuk murojaah ketika aku mengantarnya ke sekolah dengan sepeda. Ya, posisi kakak yang membonceng tepat di depanku membuatnya ideal untuk murojaah. Aku bisa mendengar perkataannya lebih jelas, dibanding kalau dia duduk di belakang.
Kakak pun menyambut setuju, dan akhirnya kami mulailah program murojaah kakak di sepeda.
Awalnya aku memilih surat secara sporadik. Namun, Hal ini kurang efektif karena tidak semua surat direvisi secara merata.
Akhirnya, mengikut tips dari Kak Wafi Azkia, aku berusaha menuliskan daftar murojaah mingguan. Aku catat di buku, kufoto dan kumasukkan ke album Foto Favoritku. Maka, setiap kali sepeda hendak meluncur, tak lupa aku mengintip dulu daftar murojaah tadi, sehingga tahu surat-surat mana saja yang akan direvisi sepanjang jalan.
Alhamdulillah, putriku bisa murojaah tanpa banyak drama. Ini berbeda sekali dibandingkan ketika murojaah di rumah. Yang mana dia bisa mudah ngambek ketika ada ayat yang salah. Barangkali udara pagi yang menghembus segar di muka atau karena kami tak saling bertatap muka membuat suasana murojaah lebih rileks dan menyenangkan. Tak jarang juga, aku yang lupa memulai, lalu putriku yang mengingatkan, mau murojaah surat apa hari ini.
Berbekal awal yang menjanjikan itu, aku pun perlahan menambah daftar murojaahku ke juz 29 dan seterusnya untuk kuulang sendiri saat perjalanan pulang.
Kini putriku tak lagi perlu diantar ke sekolah dengan sepeda. Ia sudah pindah ke sekolah dasar yang lokasinya lebih jauh lagi sehingga harus naik bus.
Posisinya di depan sekarang diambil alih oleh sang adik. Aku sedikit kuatir sebenarnya menempatkan adik di depan karena postur tubuhnya yang jauh lebih kecil sehingga kuatir kurang aman. Namun, adik sendiri sepertinya sangat menikmati duduk di depan karena bisa banyak melihat pemandangan.
Adik sendiri baru saja kuperkenalkan dengan proses menghafal. Maka jadilah sesi bersepeda menuju ke sekolah menjadi sesi talqin dan murojaah surat pendek baginya. Si adik gembira, ibu pun bahagia.
Semoga bisa istiqomah terus, aamiin.
Leave a Reply