Tahun ini adalah tahun ketiga dari pandemi korona. Alhamdulillah, rileksasi peraturan sudah mulai terjadi di mana-mana. Di tahun pertama, masjid sama sekali ditutup sehingga semua orang salat tarawih di rumah. DI tahun kedua, masjid dibuka dengan kapasitas yang sangat minim. Salat tarawih hanya bisa dilakukan dengan booking terlebih dahulu dan itu pun dibatasi. Jika tak salah ingat, saya hanya bisa salat tarawih di masjid kurang dari lima kali.
Bagaimana dengan pengalaman di tahun ketiga?
Rileksasi peraturan yang datang menjelang Ramadan disambut dengan sukacita oleh masyarakat muslim di Singapura. Kami tak lagi perlu menjaga jarak di masjid. Saf bisa rapat. Dan kapasitas masjid pun ditingkatkan sampai 75%. Ini berarti satu masjid bisa menampung sampai kurang lebih dua ribu jamaah.
Booking salat tarawih masih diberlakukan, tetapi tidak ada batasan maksimal boleh booking berapa kali. Maka begitu booking dibuka, aku pun bergerilya mem-booking tempat solat bagi muslimah (ya anak-anak pun perlu booking), bayangkan ya booking tiga tempat untuk setiap kali salat.
Alhamdulillah hampir setiap akhir pekan, kami sekeluarga bisa bersama-sama salat tarawih di masjid. Untuk hari sekolah, saya cenderung melihat keadaan si kakak. Jika disinyalir kelelahan, kami yang muslimah salat di rumah saja. Jika terlihat segar bugar, maka ibu pun last minute cari bookingan masjid.
Sesampainya kita di masjid, ada beberapa lapis petugas yang harus kami lalui satu persatu. Petugas awal akan mengecek bookingan kami satu per satu, lalu memberikan kartu slot jamaah. Kami selalu dapat di lantai ketiga karena lantai kedua sudah penuh. Di lapis kedua, ada petugas lain yang membantu kami check in dengan Safe Entry menggunakan token atau aplikasi Trace Together (mirip PeduliLindungi di Indonesia). Baru setelah itu, kami naik ke lantai tiga. Di sana kami bertemu petugas lain yang akan mengambil kartu jamaah dari kami. Akhirnya, kami bisa masuk ke dewan salat dan mencari tempat.
Salah satu nasihat imam yang masih terngiang-ngiang sampai sekarang ketika tarawih adalah hendaknya kita bersyukur bisa merapatkan saf lagi. Selama dua tahun lebih kaum muslimin harus salat dengan saf renggang karena menjaga jarak. Maka ketika saf boleh rapat, ayolah kita rapatkan bahu dengan bahu, kaki dengan kaki, sesuai dengan sunnah Nabi. Jangan sampai nikmat ini tercabut lagi sedang kita lalai dalam melaksanakannya.
Satu hal yang berbeda di tahun ini adalah Maryam yang sudah mulai besar dan ikut salat tarawih. Ia pun tambah bersemangat karena teman sekolahnya, Aisyah, juga sering salat tarawih di masjid depan rumah bersama keluarganya. Akhirnya kami sering mencari tempat salat yang berdekatan sehingga kedua anak ini bisa bermain bersama ketika mereka sudah lelah ikut salat.
Hal lain yang kusyukuri dari salat tarawih di masjid adalah kenikmatan bisa mendengarkan lantunan ayat Al-Qur’an yang dibaca dengan tartil. Diulang-ulang sehingga membekas di hati. Juga doa qunut-qunut panjang yang dipanjatkan sang imam dengan penuh penghayatan, membuat jamaah larut dan bahkan tak sedikit yang berlinang air mata.
Alhamdulillah, masjid di depan rumah kami juga cukup ramah dengan anak-anak. Adaa saja yang didapat anak-anak dari masjid, entah biskuit, kerupuk, bahkan goodie bag yang membuat anak-anak semakin gembira datang ke masjid.
Dan tak lupa, sebelum jamaah pulang, pihak masjid memberikan oleh-oleh berupa kartu doa sehari-hari yang bisa kita amalkan. Masyaallah, semoga Allah memberikan keberkahan yang banyak bagi masjid kami.
Qodarullah, di hari-hari terakhir Ramadan, Maryam dan Khadijah mulai batuk-batuk. Aku pun menahan diri tidak membawa mereka ke masjid. Ya, selain supaya tidak menulari jamaah yang lain, kami pun harus jaga stamina. Kami tak ingin di hari raya nanti harus terkungkung di rumah karena tidak enak badan. Tak mengapa, mudah-mudahan Allah menerima amal ibadah salat tarawih kami, menambahkan nikmat kekhusyuan ketika salat, bahkan di luar bulan Ramadan. Amin.