Semenjak wabah covid menyebar ke seluruh penjuru dunia, banyak negara yang menerapkan lockdown untuk menekan angka penularan. Begitu pula dengan Singapura.
Kurang lebih dua bulan lamanya penduduk Singapura menjalani masa lockdown, atau yang dipopulerkan pemerintah dengan nama circuit breaker. Sekolah dan perkantoran ditutup, tempat ibadah ditutup, begitu juga dengan mall dan tempat rekreasi. Semua orang diminta untuk tinggal di rumah dan hanya keluar untuk keperluan mendesak saja.
Alhamdulillah, kini masa circuit breaker sudah berlalu dan angka penyebaran covid di Singapura berhasil diperkecil. Perlahan, pemerintah mulai membuka lagi tempat-tempat umum, tapi masih dengan berbagai pembatasan. Ya, kata mereka, kami sedang bertransisi menuju fase new normal.
Seperti apa sih transisi menuju new normal di Singapura? Yuk simak terus cerita detailnya di artikel ini.
Kegiatan Sekolah di Masa Transisi Menuju New Normal
Saat ini Singapura berada di tahap kedua transisi menuju new normal. Awalnya, di tahap pertama, sekolah dibuka secara bertahap. Murid-murid masuk dengan jadwal bergilir. Contohnya, untuk tingkat primary school kelas 4 dan 5 masuk sekolah di minggu ganjil, sedang kelas 1, 2, dan 3 masuk di minggu genap. Adapun kelas 6 masuk setiap minggu karena mereka sedang menjalani persiapan intensif untuk ujian akhir.
Setelah satu bulan, kami memasuki transisi tahap kedua. Siswa mulai bersekolah setiap hari. Di masa transisi ini, berbagai peraturan menjadi lebih ketat. Misalnya seperti pemakaian masker sepanjang hari (masker hanya dilepas ketika istirahat makan, minum, atau pelajaran olahraga). Apel pagi yang menjadi potensi kerumunan ditiadakan. Selain itu, tempat duduk ditata layaknya ketika ujian, berjarak satu sama lain.
Tak hanya itu saja, setiap pagi dan sebelum pulang, anak-anak melakukan pengukuran suhu di sekolah. Data mereka pun dicatat semua untuk keperluan contact tracing.
Ketika istirahat, tak ada lagi namanya keluar makan di kantin. Sebagai gantinya, pihak sekolah berkoordinasi dengan kantin untuk menyediakan bento box yang dimakan di dalam kelas. Sungguh luar biasa kinerja sekolah dalam bahu-membahu mencegah penyebaran wabah ini.
Bagaimana Dengan Di Luar Sekolah?
Walaupun pasar dan mall sudah dibuka, hal ini bukan berarti kami bebas keluyuran di mall sesuka hati. Selain harus memakai masker dan menjaga jarak (safe distancing), di tiap gerbang masuk pasar dan mall diadakan pengecekan temperatur.
Tak hanya itu. kami juga perlu check in menggunakan Safe Entry, di mana kami harus mengisi nomor identitas dan HP untuk keperluan contact tracing. Tak heran, di mall-mall yang popular atau di jam-jam sibuk, banyak terlihat antrian masuk di pintunya.
Adapun saat menggunakan transportasi publik, social distancing agak susah untuk dilaksanakan mengingat banyaknya pengguna mode transportasi ini. Sebagai gantinya, selain penggunaan masker, kami dihimbau untuk tidak bercakap-cakap saat berkendara di bus atau MRT.
Lain mall, lain lagi tempat ibadah.
Menurut saya, peraturan di tempat ibadah ini yang super ketat. Bagaimana tidak, sebelum kami bisa mengunjungi tempat ibadah, kami harus booking slot du/lu, dan ini dibatasi hanya untuk 50 orang saja.
Jadi bayangkan, untuk kaum bapak yang ingin shalat lima waktu atau shalat Jumat di masjid, mesti adu cepat booking slot shalat. Padahal kapasitas asli masjid bisa mencapai seribu jamaah. Maka masih banyak orang-orang yang kesulitan untuk shalat di masjid di masa transisi ini. Semoga ke depannya, pemerintah membolehkan pertambahan jumlah jamaah yang boleh datang ke masjid.
Bagaimana dengan kumpul-kumpul?
Naah ini lagi yang masih dibatasi sekali oleh pemerintah.
Di tahap kesatu, hanya dua orang saja yang boleh berkunjung ke rumah, ini pun harus yang memiliki hubungan keluarga. Seperti anak yang mengunjungi orang tuanya. Di tahap kedua, peraturan ini diperlonggar sedikit. Kali ini kami boleh menerima tamu baik dari keluarga dan teman, maksimal lima orang.
Bagaimana dengan ketemuan di luar, playdate bareng gitu? Di tahap kesatu, hal ini sama sekali tidak diperbolehkan. Kalau ketahuan sengaja janjian meet up, bisa dikenakan denda. Sedangkan di tahap kedua, kami sudah boleh berkumpul di dalam satu grup, tapi tidak boleh melebihi lima orang.
Hal ini mengakibatkan segala macam agenda kumpul-kumpul komunitas seperti pengajian offline ditiadakan. Sebagai gantinya, kami menyelenggarakan pengajian online dengan mengkombinasikan live session dengan Zoom dan pemberian materi lewat video.
Pengalaman Menjalani Ujian di Masa Transisi Menuju New Normal
Di masa pandemi inilah, kami sekeluarga mengalami pengalaman yang tak terlupakan. Ya, dan mungkin bukan kami saja, tapi juga ratusan keluarga yang lainnya.
Tahun ini adalah tahun yang spesial. Ini waktunya Khadijah, anak kedua kami, mendaftar untuk sekolah madrasah (sekolah Islam). Seperti tahun-tahun sebelumnya, tiap madrasah mengadakan ujian masuk karena kuota siswa yang sangat terbatas.
Biasanya ujian diadakan di pertengahan bulan April. Maka kami pun sudah bersiap sejak awal tahun untuk menghadapi ujian ini. Qodarullah, semakin dekat dengan tanggal ujian, semakin banyak peraturan yang dikeluarkan pemerintah, yang mau tak mau diikuti oleh madrasah. Berbagai pembatasan diberlakukan bagi setiap calon siswa yang hendak ikut ujian, seperti:
- tidak boleh dalam keadaan demam atau sakit dengan gejala infeksi saluran pernafasan (walau bukan covid, tetap tidak diijinkan ikut)
- tidak boleh dalam masa karantina mandiri (Home Quarantine Order). Ini terjadi jika anggota keluarga lain atau orang yang sempat berinteraksi dekat dengan kita – contoh, teman sekolah- terkena covid).
- Tidak boleh dalam status SHN (Stay Home Notice). Ini terjadi jika kami baru kembali dari negara lain.
Tak ayal lagi, hati saya selalu dag dig dug memikirkan berbagai kemungkinan buruk. Kami pun sangat membatasi keluar rumah untuk menghindari hal yang tidak diinginkan. Jangan sampai ada anggota keluarga yang sakit.
Lalu bagaimana dong dengan sekolah? Kami bahkan sempat berencana meliburkan Khadijah dari sekolah dua minggu sebelum tanggal ujiannya.
Eh… qodarullah lagi, ujian yang semestinya diadakan bulan April mesti ditunda karena diberlakukannya circuit breaker. Awalnya, belum ada tanggal pengganti yang pasti. Sempat terpikir olehku, mungkinkah ujiannya akan diadakan online? Tapi mengingat format ujian yang cukup kompleks (ada ujian tertulis dan ujian lisan, dan masing-masing untuk beberapa mata pelajaran), sepertinya cukup rumit untuk dilakukan. Belum lagi mempertimbangkan usia si anak yang baru enam tahun, sepertinya masih terlalu muda untuk menjalani sistem ujian online.
Beberapa minggu setelah itu, muncul pengumuman baru. Ujian ditunda sampai pertengahan Juni. Hatiku berasa campur aduk. Di satu sisi, ada rasa lega karena kami punya waktu ekstra untuk belajar. Tapi di sisi lain, ada beban yang ingin segera berakhir.
Seminggu sebelum tanggal ujian, pihak madrasah sudah mengirimkan prosedur ujian lewat email. Khadijah pun sudah excited ingin segera menuntaskan ujian. Tak disangka, sehari setelahnya, datang pengumuman baru yang membatalkannya. Ya, karena tanggal tersebut masih berada di transisi tahap pertama, pihak pemerintah menganjurkan sekolah untuk mengundurnya lagi sampai 18 Juli 2020.
“Gak jadi lagi…???” Itulah respon pertama Khadijah saat saya memberitahunya tentang penundaan jadwal ujiannya. Jujur, saya pun ingin berteriak seperti itu juga. Rasanya kecewa bercampur lelah.
Kapan masa persiapan ujian ini berakhir?
Tapi putus asa bukanlah pilihan. Saya menghibur diri dan Khadijah, mungkin Allah ingin kita mempersiapkan ujian ini dengan lebih matang lagi.
Kami pun melanjutkan persiapan. Di masa ini, adakalanya saya merasa jenuh karena setiap hari mempersiapkan bahan belajar Khadijah. Maka di hari-hari turun semangat seperti ini, kami mengganti sesi belajar dengan bermain sambil belajar. Ahahaha… beda-beda tipis yaaa, tapi revisi tetap jalan.
Sampai akhirnya tanggal itu datang juga. Ya, hari yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Pihak madrasah mengganti strategi pelaksanaan ujian. Di tahun-tahun sebelumnya, semua siswa melaksanakan ujian secara serentak di satu waktu, selama kurang lebih 3-4 jam. Tentulah hal ini sekarang tidak bisa dilakukan karena potensi terjadinya kerumunan. Bagaimana tidak, terdapat kurang lebih 400 calon siswa plus minimal jumlah yang sama dari pihak pengantar / keluarganya. Wah, bisa seribu orang tumplek blek di satu tempat.
Nah, di tahun ini, ujian diadakan dalam dua slot, dengan 210 calon siswa di tiap slot, untuk kemudian dibagi-bagi lebih lanjut dalam lima belas grup kecil. Tak seperti dulu, hanya satu wali murid yang boleh mengantar masuk dan itu pun tak boleh menggerombol di lingkungan sekolah. Habis antar langsung pulang. Wali murid baru boleh datang lagi sekitar 2 jam kemudian, ketika ujian telah usai.
Maka kami memutuskan sayalah yang mengantar Khadijah masuk ke sekolah, sedang anggota keluarga lain menunggu di mobil. Kami perlu melewati beberapa check point sebelum bisa masuk ke dalam. Pertama, check in mandiri untuk wali murid dengan Safe Entry. Yang kedua check in calon siswa dengan bantuan guru, sekaligus pengecekan suhu badan. Yang terakhir, barulah booth pendaftaran di mana kami menyerahkan surat panggilan ujian dan berpisah dengan anak.
Sembari menyusuri halaman sekolah, perasaanku mulai tak karuan. Deg-degan bercampur haru. Alhamdulillah, akhirnya sampai juga kami di titik ini, ya Allah. Alhamdulillah Engkau telah menjaga keluarga kami sehingga tetap sehat sampai saat ini datang.
Saat itu saya sempat bertatap mata dengan kakak yang baru selesai mengantar anaknya. Kulihat matanya berkaca-kaca, pastinya ia merasakan hal yang sama juga. Mataku rasanya langsung memanas, tapi aku tak boleh menangis di depan anakku.
Kusibukkan diri dengan mengecek kembali masker dan face shield yang ia pakai. Sebelum kami berpisah, kubisikkan padanya, “Jangan lupa berdoa ya, Mbak.” Dan setelah itu saya pun pergi.
Waktu rasanya berjalan lambaat sekali sampai saatnya saya bisa menjemputnya lagi. Saya bersyukur, wajahnya terlihat sumringah. Ia sibuk bercerita tentang sekolahnya yang besar, ruang kelasnya yang indah, dan guru-gurunya yang penyabar. Alhamdulillah, tsumma alhamdulillah. Ketika ada anak lain yang menangis atau trauma dengan format ujiannya, Khadijah tetap tenang dan biasa-biasa saja. Saya sendiri, legaa sekali rasanya.
Nah, untuk merayakan selesainya ujian, kami sekeluarga memutuskan untuk makan di luar. Ya, inilah pertama kalinya kami makan di luar semenjak circuit breaker selesai. Bahkan ini pertama kalinya kami menginjakkan kaki di mall. Anak-anak bersorak gembira. Akhirnya, mereka bisa makan menu kegemarannya lagi!
Alhamdulillah, beban berat yang kupikul selama ini lepas sudah. Perjuangan menghadapi ujian masuk madrasah di masa transisi new normal ini memang luar biasa.
Kami belajar untuk banyak menahan diri.
Kami belajar untuk bersabar.
Kami belajar untuk memaksimalkan ikhtiar dan doa.
Kami belajar untuk menggantungkan diri dan tawakkal hanya kepada Allah.
Sungguh, ini adalah pengalaman berharga yang tak akan terlupakan.
Leave a Reply