(Desember 2011)
Ketika pertama kali menginjakkan kaki di kota asing ini, tak pernah terpikir olehku untuk bertemu dengan banyak sahabat di rantau. Ya, kota kecil bagian barat benua Amerika ini memang tidak terkenal. Walaupun ia ibukota negara bagian, ia jauh dari hiruk pikuk keramaian layaknya pedesaan yang sunyi.
Kawan pertamaku sungguh tak terduga. Kami menemukan sebuah keluarga asal Indonesia, satu-satunya keluarga Indonesia lain yang ada di sana.
Saat berkunjung pertama kali ke rumahnya, kami langsung ditodong.
“Yuk, ikutan ngajar di masjid. Kami punya program iqro buat anak-anak dan dewasa,” tutur mereka. Ternyata, sang suami adalah ketua takmir masjid setempat.
“Tiap Sabtu ada potluck lho di masjid. Minggu depan kalian datang ya!” pesan sang istri kepadaku. Jadilah hari Sabtu itu hari pertamaku menginjakkan kaki di masjid.
Jangan disangka masjid di sana seperti masjid megah nan luas yang kalian temui di Indonesia atau Singapura. Sesungguhnya masjid tersebut asalnya adalah sebuah dance studio, yang kemudian dibeli secara bergotong-royong oleh komunitas muslim setempat. Namun, wilayah masjid yang terbatas tak menjadi halangan atas keriuhan program masjid di akhir pekan. Ada kelas iqro dewasa dan fikih di hari Jumat, dilanjutkan dengan potluck dinner di hari Sabtu, serta kelas iqro anak-anak di hari Minggu.
Setiap kali kami pergi ke sana, masjid selalu ramai dengan jamaah. Di sinilah aku bertemu dengan komunitas muslim yang berasal dari banyak negara. Rumpun Asia didominasi oleh kawan-kawan yang berasal dari India dan Pakistan. Selain itu, ada juga kawan-kawan refugee dari Bosnia, Afghanistan, dan Afrika. Tak ketinggalan, ada juga orang bule yang sudah menjadi muallaf di sana, masya Allah. Semuanya ramah-ramah dan aku tak pernah bosan mendengarkan cerita mereka.
Di antara teman-teman muslimahku, ada satu yang menarik perhatianku. Rukiah namanya. Ia berasal dari Afrika. Penampilannya sederhana, dengan jilbab bermotif bunga-bunga kecil khas negara asalnya. Putranya ada enam, mulai dari yang balita sampai yang hampir remaja. Hampir setiap hari Rukiah bekerja di luar rumah. Di tengah-tengah kesibukannya, Rukiah tetap rajin mengantar putra-putrinya untuk belajar iqro di akhir pekan. Ia sendiri juga belajar iqro di masjid.
Pernah suatu hari, aku kebagian mengajar iqro kaum ibu. Rukiah salah satu di antara mereka. Sembari menunggu gilirannya setoran, Rukiah meminta putrinya yang masih SD untuk menyimak bacaannya. Ia bahkan meminta anaknya itu mengoreksi bacaannya. “Aku ini sudah tua. Walau sudah belajar, masih saja ada huruf yang lupa,” tuturnya sembari memperbaiki lagi bacaannya. Semangatnya tak surut walau harus mengulang halaman yang sama berkali-kali.
Selesai setor bacaan, ia sempat bercengkerama denganku, “Wah hari ini melelahkan sekali, hahaha. Sepulang kerja, tadi aku sempatkan menyembelih ayam dulu dan membuluinya. Baru aku ke sini.” Mataku membulat takjub. Ah, tak pernah terbayangkan olehku untuk menyembelih ayam sendiri untuk dimasak. Habis itu langsung ke masjid pula.
“Mana anakmu yang paling kecil?” tanyaku sambil celingukan. Biasanya kudapati si kecil selalu menempel pada ibunya.
“Ooh, kutitipkan kepada tetangga,” jelasnya, “supaya aku bisa fokus belajar hari ini.”
Selepas salat ashar, acara pun dilanjutkan dengan kelas fikih yang membahas tentang penyelenggaraan jenazah. Rukiah terlihat menyimak dengan seksama. Walaupun terdengar sepele bagi peserta yang lain, ia tak malu untuk bertanya sampai paham.
“Aku harus paham tentang masalah ini, sehingga ketika saatnya aku meninggal nanti, keluargaku bisa mengurus jenazahku sesuai dengan Alquran dan Sunnah, tanpa kebanyakan embel-embel tradisi seperti yang sering terjadi saat ini,” tegasnya.
Hatiku berdesir. Di usianya yang tak lagi muda, Rukiah memberikan teladan kepadaku untuk tetap bersemangat menuntut ilmu agama. Anak yang banyak dan pekerjaan tidak ia jadikan alasan untuk kemudian lalai dalam belajar.
Dalam hati aku berdoa, semoga Allah melindungi dan memberikan keistiqomahan kepadanya. Aku pun bertekad untuk meneladani semangat Rukiah, pantang menyerah dalam perjalanan menuntut ilmu agama hingga akhir hayat.
Catatan: ini adalah sepenggal kisahku merantau sejenak ke negeri Paman Sam sepuluh tahun yang lalu.
Vifta says
MasyaaAllooh…
Mbak Fifta(ehem)rina sekarang tinggal dimana? Duluuuuu… setahu saya tinggal di singapura kan ya? Apa saya salah ya?
Terima kasih sudah berbagi mbak… MasyaaAllooh… senangnya bisa bertemu banyak saudari daei berbagai penjuru dunia ya… ????
Bagaimana aktifitas di masjid saat pandemi ini mbak? Bagaimana suasana pandemi di sana?
Fiftarina says
Halo Mbak Vifta kembaranku hihihi, aku sekarang di Singapura. Ini menceritakan kisah merantauku pas lagi ke Amerika 10 tahun yang lalu. Kayanya perlu kutambahin nih keterangan waktunya supaya gak membingungkan yak.
khalida says
Wah masyaAllah senang ya mbak bisa bertemu sisters fillah di berbagai negara. Paling seneng deh mendengarkan kisah2 mereka di negaranya ya, jadi tambah wawasan.
Fiftarina says
Iya mbak Khalida, seru banget. Buatku itu jadi pengalaman yang tak terlupakan. Jadi penasaran juga nih bagaimana kisah mb Khalida dengan sahabat-sahabatnya di rantau.