Banyak keluarga yang fokus untuk menjadikan anak-anaknya hafal Al-Quran. Nah, bagaimana kalau ibunya menghafal duluan, semasa sudah menjadi ibu tentunya. Adakah manfaatnya?
Berikut ini yang aku rasakan:
1. Lebih mudah menyimak hafalan anak.
Iya dong, kalau sudah terlebih dahulu hafal, kita bisa menyimak tanpa melihat mushaf. Dan menyimak bacaan orang lain juga bermanfaat banget lo bagi diri sendiri. Biasanya ada tahap-tahapnya. Ada fase di mana kita bisa mengidentifikasi ada bagian yang salah, tetapi kesulitan untuk mengoreksi kecuali dengan mengulang baca dari awal surat. Nanti kalau sudah lebih terbiasa menyimak, pelan-pelan kita sudah bisa mengoreksi hafalan yang salah dengan lebih cepat. Lama-kelamaan, kita bisa lebih mengapresiasi ayat-ayat yang mirip. Mirip buat anak-anak belum tentu mirip buat kita lo. Jadi memang jadi takjub saja ooo ayat ini bisa keliru nyambung ke situ ya, seperti itu.
2. Menjadi teladan anak dalam menghafal.
Ya, ini otomatis ya. Seperti halnya kalau kita ingin anak-anak terbiasa salat di awal waktu, jadilah yang pertama untuk berwudu dan menunggu anak-anak untuk salat. Jangan cuma bisa memerintah saja tetapi tidak ada aksi mencontohkan dari orang tua. Walaupun di tahap sekarang posisiku hanya sebagai yang men-encourage saja, aku bersyukur bahwa anak-anak tidak resistant dengan kegiatan menghafal Al Quran, bisa sedikit-sedikit menghafal dan murojaah mandiri.
3. Mencontohkan suka duka penghafal Al Quran.
Ya, biasanya yang dilihat orang itu hasil akhirnya saja. Hafalan lancar, ikut lomba kek, gitu-gitu. Mereka gak tau bagaimana proses dan perjuangan mengulang-ulang potongan ayat supaya ingat atau salah-salah ketika menyetor murojaah. Kali ini, biar mereka jadi saksinya sendiri, ibu menghafal juga harus banyak mengulang, 10x mengulang masih salah juga. Jadi ga ada ceritanya protes not fair ibu kok hafalannya sudah banyak, sudah lancar. Semua berproses perlahan-lahan.
Ini terlebih menjadi pelajaran berharga banget mengingat anak-anak punya kecenderungan perfeksionis dan merasa sebel dengan diri sendiri kalau merasa pencapaiannya kurang. Yang besar sekarang sudah bisa semakin santai dalam menghadapi “aku bisa salah”, yang satunya masih suka ngambek-ngambek sendiri ketika mengulang-ulang masih salah. InsyaAllah seiring dengan berjalannya waktu, mereka akan semakin dewasa dan memahami perjuangan menghafal Al Quran.
4. Murojaah bareng-bareng.
Biar seru, murojaah tak melulu setor satu-satu. Bisa setor tik-tokan (selang-seling ibu-abang-adik). Atau keroyokan nyimak video sambung ayat. Atau ngerjain kuis murojaah bareng-bareng. Terkadang aku minta juga si sulung menyimak murojaahku, sehingga dia pun ada kesempatan mengoreksi ketika aku salah. Nah kan, tak selalu ibu yang mengoreksi anak. Sebaliknya, anak juga bisa mengoreksi ibu. Adil ya, hahaha. Aku harap momen-momen seperti ini akan mereka ingat sampai besar nanti.
5. Bisa sharing tips ayat yang mirip
Kalau ibu sudah hafal duluan, walaupun itu cuma beberapa ayat di depan hafalan anak, ibu jadi bisa sharing kan bagaimana cara membedakan ayat yang mirip. Entah dari artinya, ceritanya, atau bikin jembatan keledainya. Senang sekali rasanya melihat anakku ber-ooo atau tertawa mendengarkan cara konyolku membedakan ayat yang hampir sama. Atau ketika matanya membulat berbinar-binar saat kami diskusi tentang arti penggalan ayatnya untuk membedakan ayat yang mirip. Priceless!
Aku tidak tahu apakah anak-anakku akan serius menghafal Al Quran sejak sekarang atau nanti kelak saat dewasa dan bisa istiqomah hingga akhir hayat. Namun, aku percaya doa seorang ibu didengar Allah. Ikhtiar ibu terus berjalan. Tinggal kita lihat saja bersama nanti di akhirat, InsyaAllah.
Leave a Reply