Pandangan Sarah menyapu sudut-sudut ruangan gawat darurat itu. Tak banyak orang di sana. Hanya ada beberapa pasangan muda yang berbisik-bisik di bangku mereka dengan wajah muram.
Entah sudah kali keberapa ia mengunjungi ruangan ini bersama anak-anaknya di pekan-pekan terakhir ini.
Samar-samar ia mendengar suara anaknya mengajaknya bermain. Namun, ia tak bisa berpikir jernih, larut dalam lamunannya sendiri.
“Ibu sebaiknya dirawat di sini,” ucap dokter itu ketika namanya dipanggil untuk kali kedua.
“Tapi, Dok, bagaimana dengan anak-anak saya…” Ia berusaha menawar. Dipandangnya kedua anaknya yang masih kecil.
“Ibu mengalami demam, indikasi terjadinya infeksi, ” jelas dokter itu dengan perlahan.
“Kami perlu observasi agar kondisi ibu tetap aman. Infeksi bisa menyebar dengan cepat. Jika perlu, kami harus melakukan tindakan lanjutan,” pungkasnya, lalu memanggil suster untuk mengurus administrasi rawat inap.
Sarah berpandangan dengan Syafiq, suaminya. Ada tatapan panik di sana. Ya, ini kali pertamanya harus meninggalkan anak-anak.
Malam itu, setelah makan di kantin rumah sakit, Syafiq pulang bersama anak-anaknya. Perasaannya sungguh bercampur aduk, tak tega melepas mereka bertiga. Si sulung Khalid di stroller, sedang si bungsu Safiya menangis di gendongan ayahnya.
Sanggupkah Syafiq meng-handle mereka sendirian? pikir Sarah di benaknya. Namun kali ini ia tak bisa berbuat apa-apa.
***
Kreek…
Sarah terjaga mendengar tirai ruangannya disibak.
“Ukur suhu dan tekanan dulu ya, Bu,” sapa sang perawat dengan tersenyum. Jari-jemarinya lincah membebat lengan Sarah selepas mengukur suhu badannya.
Sarah melirik jam tangannya, jam empat pagi. Selepas sang suster pergi, ia bersegera menunaikan salat fajar, lalu termenung sendiri di atas ranjangnya.
Pikirannya melayang ke waktu yang telah silam.
Entah berapa kali ia mengomel-ngomel di rumah.
Penat dengan rutinitasnya meng-handle urusan domestik dan anak-anak.
Sungguh ia mendambakan punya waktu untuk dirinya sendiri. Ya, waktu penuh baginya, tanpa ada panggilan anak-anak, tanpa ada rumah yang selalu berantakan lagi seusai dibereskan.
Bukan cuma sekali, terlontar dalam hatinya doa agar ia jatuh sakit. Agar ia dirawat di rumah sakit. Agar ia bisa terbebas dari anak-anaknya. Tak disangka, doanya yang dulu dikabulkan Yang Maha Kuasa dengan jalan yang seperti ini.
Bermula dari flek coklat di kehamilannya yang ketiga. Belum lagi waktunya tiba untuk kontrol dokter, flek itu semakin gelap dan banyak.
Sarah pun jadi langganan pengunjung tetap ruang gawat darurat rumah sakit ibu dan anak. Berbagai tes dilakukan dokter. Dari USG sampai uji hormon. Kesimpulannya, si janin tak akan tertolong.
Sarah sudah mati rasa dengan segala prosedur dokter. Pasrah. Sampai akhirnya janin itu luruh dengan sendirinya.
Ia pikir, itulah akhir dari penderitaannya. Ternyata belum. Selang beberapa hari, Sarah mulai merasa demam, tanda terjadinya infeksi. Dokter mengatakan bahwa gugurnya sang janin tidak sempurna. Masih banyak jaringan yang tersisa di rahimnya. Dan itulah mengapa dokter bersikeras ia harus ngamar di RS. Jika tidak luruh sendiri, kuret menjadi salah satu solusinya.
Sarah melirik jamnya lagi. Baru pukul 6 pagi! Waktu terasa begitu lambat. Tilawahnya sudah selesai, browsing-browsing pun sudah. Ia merasa bosan.
Terbayang olehnya kesehariannya di rumah. Biasanya jam segini ia sibuk mondar-mandir di dapur menyiapkan sarapan. Lalu beralih ke setrikaan. Lalu anak-anak. Menemani mandi, makan, bermain, tidur. Begitu seterusnya sampai hari berganti. Sekilas serasa menjenuhkan.
Namun, berbaring-baring di rumah sakit bahkan lebih menjenuhkan lagi. Belum lagi perawat yang datang setiap beberapa jam sekali untuk mengecek suhu dan keadaannya. Ia jadi tak bisa tidur lelap.
Hari semakin siang. Badan Sarah semakin lemas. Suhunya meninggi, membuatnya meringkuk di bawah selimut. Perutnya keroncongan. Namun, dokter memintanya berpuasa, berjaga-kaya kalau tindakan operasi harus dilakukan mendadak. Nyatanya, sampai dzuhur tak juga ada pemberitahuan apa-apa. Ia semakin gelisah.
Ringgg… teleponnya berdering.
“Dek, nanti Mas ke sana menjelang dinner aja gimana? Nanggung nih, Khalid dan Safiya sudah ngantuk.”
“Ok, gpp,” balasnya singkat.
Ia paham, Syafiq pasti kerepotan di rumah.
Ia mencoba beristirahat lagi. Kepalanya terasa berat. Badannya semakin tak karuan.
Ketika ia terjaga, seorang wanita muda sudah berada di sisi tempat tidurnya.
“Maaf ya, sudah membuat Ibu menunggu, “ hari ini jadwal saya sangat penuh,” dokter itu memulai percakapan.
“Perkenalkan, saya Susana, dokter kandungan ibu. Saya sudah membaca laporan tentang hasil scan-nya. Dari situ terlihat bahwa lapisan jaringan yang tertinggal masih cukup tebal, kecil kemungkinan untuk bisa luruh sendiri.”
Sarah hanya manggut-manggut mendengarkan penjelasannya.
“Jadi, saya rasa kuret adalah solusi terbaik saat ini. Kita tidak ingin ibu berlama-lama mengalami infeksi, akibatnya bisa fatal,” jelasnya lagi.
“Kebetulan ruang operasi kosong pukul 5 sore. Kita segera ambil tindakan. Suster akan membantu ibu dengan persiapannya. Sampai jumpa di sana,” Wanita itu melambaikan tangannya sambil tersenyum.
Sarah melihat jam. Hah? Setengah jam lagi?
Ia pun segera menelepon suaminya.
“Mas, jadi dioperasi habis ini.”
“Hah, kok mendadak banget?”
“Iya tadi kata dokternya begitu.”
“Lha ini Mas baru siap-siap berangkat.”
“Nggak papa. Doain aja Mas, supaya lancar.”
Ketika suster mendorongnya ke ruang operasi, Sarah menggigil. Bulu kuduknya berdiri. Ya, ini pertama kalinya ia masuk operating theatre. Bagaimana kalau terjadi komplikasi? Bagaimana kalau…
Berbagai pikiran buruk mulai berkecamuk di benaknya. Ia berusaha mengusirnya dengan berdzikir.
“Ok, tarik nafas, lepaskan, sekali lagi. Bagus. Sekarang hitung sampai dua puluh ya,” perintah sang dokter bius.
Dengan mata terpejam, Sarah mulai menghitung. Satu, dua, tiga, empat, lima,… Dan lambat-laun kesadarannya hilang.
Ketika ia terjaga kembali, sang suster menyapanya dengan wajah sumringah.
“Wah, sudah sadar yaaa… Pas sekali, ini suamimu telpon,” sambutnya sambil mengulurkan telepon kepada to Sarah.
“Gimana operasinya?” tanya Syafiq, dengan nada khawatir.
“Alhamdulillah, ini baru sadar. Belum ada info lagi dari dokter.”
“Ini Safiya mau ngomong.”
“Ibu, ibu, Safiya kangen,” celoteh putri kecilnya yang ternyata sedang makan malam di kantin rumah sakit.
Sarah pun tersenyum.
“Ibu pun kangen, Nak. Safiya makan yang pinter ya. Habis itu bisa naik ke atas ketemu Ibu.”
Sembari menunggu suami dan anak-anaknya datang, Sarah pun termenung. Ah, ternyata bersama kalian, betapa pun capeknya itu, masih lebih menyenangkan daripada sendirian di rumah sakit seperti ini.
“Ya Rabb, jangan biarkan doa-doa kejelekan terucap lagi dari lisanku. Bantu hamba menyertai keluarga kecilku ini dengan kesabaran,” bisiknya dalam hati.
***